Dampak Negatif Judi Online
Judi di Indonesia: Jejak Kuno hingga Masa Kontemporer
Jika kita memandang sejarah judi di Indonesia, tampaknya sabung ayam adalah salah satu bentuk judi tertua yang telah ada.
Dengan kedatangan bangsa asing seperti Belanda, Inggris, Spanyol, Portugal, dan Cina, jenis-jenis judi dari negara-negara ini turut memengaruhi perkembangan judi di Indonesia.
Kampanye Kesadaran
Organisasi kesadaran perjudian telah meluncurkan kampanye edukasi untuk memberi tahu masyarakat tentang risiko judi online yang berlebihan. Mereka juga menyediakan sumber daya bagi individu yang mencari bantuan.
Regulasi yang Ketat
Pemerintah telah menerapkan regulasi ketat terhadap industri perjudian online, termasuk pembatasan usia, batasan jumlah taruhan, dan aturan tentang iklan perjudian.
Kerugian Finansial yang Besar
Keberadaan kartu kredit dan metode pembayaran online membuat lebih mudah bagi pemain untuk menghabiskan lebih banyak uang daripada yang mereka mampu. Ini bisa mengarah pada hutang yang sangat besar.
Gangguan Psikologis
Kecanduan judi online juga dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti kecemasan, depresi, dan isolasi sosial.
Pemain sering merasa malu dan terjebak dalam spiral negatif.
Perjudian online yang tidak terkendali dapat merusak hubungan dalam keluarga.
Ketika seorang anggota keluarga menghabiskan banyak waktu dan uang untuk judi, ini dapat menciptakan ketegangan dan konflik.
Bantuan Psikologis
Program-program bantuan psikologis dan dukungan telah dibuat tersedia bagi individu yang mengalami masalah perjudian. Ini dapat berupa konseling atau dukungan kelompok.
Sejarah judi yang panjang dan kompleks menunjukkan betapa sulitnya menghilangkan praktik ini sepenuhnya.
Namun, dengan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif judi dan upaya pribadi untuk mengontrol diri, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan lebih aman bagi kita semua.
Ingatlah, uang mungkin tidak bisa membeli kebahagiaan sejati, tetapi pengelolaan yang bijak dapat membantu kita mencapai kebahagiaan dalam hidup ini.
Ketika kita memahami sejarah judi, baik yang sudah ada sejak zaman kuno maupun yang terus berkembang dengan teknologi modern, kita juga memahami bahwa kontrol diri adalah kunci untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya
1. Sejarah Perkembangan Pragmatik Di Indonesia
Di Indonesia istilah pragmatik secara nyata baru disebut-sebut pada tahun 1984, yaitu pada saat diberlakukannya Kurikulum SMA Tahun 1984. Di dalam kurikulum itu pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi Bahasa Indonesia. Atas dasar tuntutan kurikulum itulah, istilah itu mulai dibicarakan dan dibahas.
Buku acuan yang merupakan perintis bidang pragmatik di Indonesia pada awalnya adalah karya Tarigan (1986) berjudul Pengajaran Pragmatik. Buku ini masih sangat umum, deskripsi tentang topik-topiknya sangat terbatas dan sekadar mengatasi kelangkaan bahan ajar bidang itu. Nababan (1987) mencoba pula menerbitkan buku Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), yang juga masih banyak mengandung kekurangan. Sementara itu, Tallei (1988) mencoba mendeskripsikannya agak mendalam. Topik-topik bahasannya antara lain tindak tutur (speech act), implikatur, dan praanggapan (presupposition). Sayang sekali karya Tallei ini tidak mencakup semua topik pragmatik dan bahasannya hanya merupakan bagian dari karya yang berjudul Analisis Wacana.
Tahun 1990, Purwo menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Buku ini merupakan gugatan atas perlakuan terhadap pragmatik di Indonesia dengan mencoba meluruskan pengertiannya. Baginya cabang linguistik ini dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, dan (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Buku Purwo ini hanya membahas empat hal saja, yaitu dieksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan. Keluasan cakupan bahasan inilah yang menjadi kelemahan buku tersebut.
Di tahun 1990 juga, Suyono menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik: Dasar-Dasar dan Pengajarannya. Sayangnya, buku ini tidak membahas secara mendalam seluruh topik yang disajikan. Bahasan Lubis (1993) dalam karyanya Analisis Wacana Pragmatik agak mendalam. Meski demikian, karya ini hanya membahas dari aspek analisis wacana. Aspek-aspek lain belum disentuhnya. Hal serupa juga terjadi dalam karya Ibrahim (1993) yang berjudul Kajian Tindak Tutur, yang hanya mengupas satu topik saja, yaitu tindak tutur.
Pada tahun 1996 terbit buku Dasar-Dasar Pragmatik karya Wijana. Buku ini sebenarnya menuju ke arah pragmatik yang sebenarnya. Topik-topik bahasannya cukup banyak, dari situasi tutur, tindak tutur, jenis tindak tutur, presupposisi, implikatur, emtailment, kalimat analitis -kontradiktif- sintetis, prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, sampai dengan parameter pragmatik. Hanya saja deskripsi di dalam karya ini masih sangat terbatas, berkecil-kecil, dan bersifat anomalitis.
Penelitian tentang pragmatik di dalam rangka disertasi telah dilakukan oleh Purwo (1984). Pokok persoalan penelitian itu adalah diesksis. Penelitian ini merupakan perintis penelitian tentang pragmatik di Universitas Indonesia. Rintisan penelitian bidang pragmatik dilakukan pula oleh Rofiudin (1994) dari IKIP Malang, dengan topik bahasan tentang sistem pertanyaan dalam bahasa Indonesia.
Penelitian lain yang berkaitan dengan pragmatik dilakukan oleh Gunarwan, peneliti Universitas Indonesia. Tahun 1992, ia meneliti persepsi kesantunan direktif di dalam bahasa Indonesia di antara beberapa kelompok etnik di Jakarta. Direktif dan sopan santun bahasa di dalam bahasa Indonesia merupakan topik penelitian pragmatik Gunarwan (1995) berikutnya. Temuannya ialah bahwa ada kesejajaran antara ketidaklangsungan tindak tutur direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja kesejajaran itu tidak selamanya berlaku.
Penelitian pragmatik dalam bahasa Indonesia dengan latar budaya Jawa telah dilakukan Gunarwan (1993 dan 1997). Penyelidikan Gunarwan (1993) berpokok bahasanan kesantunan negatif di kalangan dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta dengan menerapkan kajian sosiopragmatik. Pada tahun 1997 ia juga menghasilkan karya penelitian di bidang ini, berupa karya tentang tindak tutur melarang di dalam bahasa Indonesia di kalangan penutur jati bahasa Jawa. Makalahnya telah disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Surabaya tanggal 7-11 November 1997.
Dalam bahasa Jawa telah pula dilakukan penelitian tentang cabang linguistik ini, yaitu oleh Ngadiman (1994) dan Gunarwan (1996). Ngadiman (1994) meneliti implikatur percakapan di dalam bahasa Jawa di Yogyakarta. Penelitian ini memperoleh temuan bahwa bahasa Jawa kaya akan implikatur percakapan. Bentuk-bentuk figuratif di dalam bahasa Jawa seperti sanepa, wangsalan, dan bebasan merupakan realisasi implikatur percakapan bahasa Jawa di Yogyakarta.
Sementara itu, Gunarwan (1996) telah melakukan penyelidikan tentang tindak tutur mengkritik dengan parameter umur di kalangan [enutur jati bahasa Jawa dan implikasinya pada usaha pembinaan bahasa. Hasil penelitian ini disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa di Batu, Malang. Ia menarik simpulan bahwa bentuk kritik di kalangan orang Jawa sejalan dengan gradasi umur. Realisasi tindak tutur mengkritik di antara penutur bahasa Jawa tidak berbeda karena faktor jenis kelamin. Simpulan penting lainnya adalah bahwa orang muda Jawa lebih langsung dalam mengemukakan kritik daripada orang tua.
Berdasarkan deskripsi itu dapat dinyatakan bahwa kajian bidang pragmatik di Indonesia masih sangat terbatas. Implikatur percakapan sebagai fenomena terpenting di dalam bidang ini baru diteliti beberapa orang. Penelitian yang dilakukan itu pun belum memadai sebagai karya pragmatik yang mendalam. Karya Soedjatmiko (1992) tentang aspek linguistik dan sosiokultural di dalam humor dan Wijana (1996) tentang wacana kartun di dalam bahasa Indonesia bukanlah tentang implikatur percakapan.
2. Sekilas Perbedaan Pragmatik, Sintaksis, Semantik, dan Sosiolinguistik
Perbedaan pragmatik, sintaksis, semantik, dan sosiolinguistik dapat dijelaskan secara ringkas seperti berikut.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
BESARNYA minat masyarakat menggunakan kereta api untuk mudik ke kampung halaman atau melakukan perjalanan jarak jauh, tak hanya terjadi di masa kini. Sejak zaman kolonial Belanda, kereta telah menjadi moda transportasi andalan masyarakat.
Masyarakat sudah dapat memanfaatkan transportasi kereta dari Batavia ke Surabaya pada akhir abad ke-19. “Mereka tidak lagi menggunakan kapal dari Batavia ke Semarang atau Surabaya,” tulis Achmad Sunjayadi dalam Pariwisata di Hindia Belanda (1891–1942).
Saat itu kereta dari Batavia tidak langsung menuju Surabaya. Perjalanan berhenti di Maos, Cilacap, dan penumpang menginap semalam. Perjalanan dilanjutkan keesokan harinya. Hal ini karena kereta hanya beroperasi dari pagi hingga sore.
Belum tersedianya layanan kereta untuk perjalanan di malam hari menjadi sorotan penduduk dan pelancong. Salah satunya Eliza Scidmore, seorang jurnalis dan penulis catatan perjalanan asal Amerika Serikat, yang menilai perjalanan kereta di malam hari akan memberikan keuntungan besar bila dioperasikan di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa. Surat kabar De Locomotief, 19 Juni 1906, menyebut kereta malam merupakan simbol perkembangan ekonomi yang lebih cepat dan lebih modern di wilayah koloni.
Meski kerap menjadi pembahasan di surat kabar sejak awal abad ke-20, namun pengoperasian kereta malam masih dipertimbangkan. “Alasan ketidakpercayaan kepada masyarakat pribumi yang mengoperasikan kereta membuat kereta hanya berjalan sampai sore,” tulis Achmad.
Rencana pengoperasian kereta malam menunjukkan titik terang pada 1930-an. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 22 Oktober 1936, memberitakan kereta malam rute Batavia-Surabaya mulai diuji coba. Kereta tersebut berangkat dari Stasiun Weltevreden pada Jumat (23/10) sore pukul 18.00. Dalam uji coba itu, waktu tempuh kereta malam akan disesuaikan semaksimal mungkin dengan jadwal yang akan datang. Setibanya di Surabaya, kereta yang sama akan kembali ke Batavia pada Sabtu (24/10) sore pukul 18.00 dan diharapkan tiba di Stasiun Weltevreden pada Minggu pagi.
Surat kabar De Indische Courant, 24 Oktober 1936, melaporkan uji coba pertama kereta malam tersebut terbilang sukses. Koran ini juga mengulas fasilitas yang tersedia di dalam gerbong kereta. Disebutkan tempat duduk di dalam gerbong kereta dapat diubah menjadi tempat tidur sehingga penumpang dapat beristirahat dengan nyaman. Selain itu, kereta malam ini juga dilengkapi dengan gerbong salon untuk penumpang mengobrol dan bercengkerama.
Uji coba kereta malam rute Batavia-Surabaya menarik perhatian publik. Mereka ramai-ramai memesan tiket untuk menjadi yang pertama naik kereta malam dari Batavia menuju Surabaya maupun sebaliknya. Mengutip surat kabar De Locomotief, 02 November 1936, kereta malam pertama dengan layanan reguler antara Batavia-Surabaya dan Surabaya-Batavia diberangkatkan dari Batavia pada 1 November 1936. Dua gerbong tidur dimasukkan ke dalam formasi kereta tersebut.
Masyarakat antusias terhadap kereta malam. Mereka berbondong-bondong menyaksikan momen bersejarah Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda itu. “Tidak hanya di stasiun utama, tetapi juga di tempat-tempat kecil antara Koningsplein dan Manggarai banyak orang menyaksikan keberangkatan kereta malam pertama itu,” demikian laporan De Locomotief.
Terkait biaya naik kereta malam, surat kabar Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 29 September 1936, menyebut penumpang dibebankan biaya tambahan untuk akomodasi tidur dengan rincian sebagai berikut: penumpang kelas satu dibebankan biaya tambahan sebesar f.10 untuk mendapatkan kabin sendiri. Kabin ini disiapkan untuk malam hari atas permintaan penumpang kepada petugas gerbong tidur. Bila penumpang kelas satu hendak meminta tambahan gerbong tidur, maka ia akan dikenai biaya f.12.
Bagi penumpang kelas dua tidak diizinkan menempati kabin sendirian. Ia akan dialokasikan tempat tidur di kabin dengan biaya tambahan f.6 per tempat tidur. Kabin kelas dua tidak tersedia sebelum jam 8 malam. Sedangkan untuk penumpang kelas tiga, akomodasi tidur disediakan dengan menyediakan tempat duduk ganda yang dibebankan biaya tambahan f.1,5 di atas tarif normal. Selain itu, penumpang kelas tiga juga dapat memiliki tempat beristirahat bentuknya tempat tidur kemah yang ditempatkan membujur di atas tempat duduk dengan biaya f.3 di atas tarif normal.
Biaya-biaya tambahan itu dibebankan bagi penumpang dewasa. Sementara penumpang anak-anak tidak dibebankan biaya tambahan asal tidak menempati kursi tambahan. Selain itu, guna menunjang kenyamanan penumpang selama perjalanan, kereta malam juga dilengkapi gerbong makan yang beroperasi dari pukul 05.30 pagi hingga pukul 12 malam. Seperti kereta ekspres lainnya, gerbong makan ini hanya dapat diakses oleh penumpang kelas satu dan dua. Sementara penumpang kelas tiga dapat menikmati makanan dan minuman di area yang telah ditentukan di kelas tiga. Gerbong makan ini menyediakan sejumlah menu, di antaranya menu sarapan Belanda dengan harga 75 sen dan menu makan malam yang dibanderol 1,50 gulden.
Kehadiran kereta malam, yang disebut hotel bergerak, menambah pilihan bagi masyarakat yang hendak melakukan perjalanan jarak jauh. Peminatnya semakin bertambah di momen menjelang hari raya saat orang-orang pulang ke kampung halaman maupun pergi ke luar kota untuk berlibur dan beristirahat sejenak dari rutinitas harian. Tak hanya di hari-hari menjelang perayaan keagamaan, surat kabar De Indische Courant, 7 Desember 1938, memberitakan jumlah pengguna kereta malam melonjak di pengujung tahun sehingga manajemen perkeretaapian negara menyediakan kereta malam tambahan hingga awal tahun baru.*
Pengawasan dan Pemantauan
Dalam beberapa kasus, lembaga pemantauan perjudian telah dibentuk untuk mengawasi aktivitas perjudian online dan mengidentifikasi tanda-tanda kecanduan.
Mengapa Judi Sulit Dihilangkan di Indonesia?
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa judi, terutama di Indonesia, begitu sulit untuk dihilangkan.
Jawabannya kompleks. Pertama, judi telah menjadi bagian dari budaya dan sejarah masyarakat.
Kedua, adanya iming-iming keuntungan finansial membuatnya semakin sulit untuk dihilangkan.
Judi Online: Fenomena Modern yang Meningkat
Dalam beberapa tahun terakhir, judi online telah menjadi fenomena yang semakin merajalela.
Kemudahan akses melalui internet telah memungkinkan siapa saja dengan koneksi internet untuk berjudi dari kenyamanan rumah mereka sendiri.
Ini telah menciptakan lingkungan yang sangat menguntungkan bagi operator perjudian online.
Namun, dampak judi online tidak selalu positif. Banyak individu yang mengalami masalah perjudian telah beralih ke platform online, di mana mereka dapat bermain tanpa batasan waktu atau pengawasan.
Ini telah menyebabkan peningkatan kasus kecanduan judi dan masalah finansial yang serius.