Mendadak Kaya 3 Orang Miskin Dilarang Sarjana Bahasa Inggris

Mendadak Kaya 3 Orang Miskin Dilarang Sarjana Bahasa Inggris

Pengampu Kuliah Sosiologi Perdesaan UIN Jakarta, Sekjen Asosiasi Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam-P2MI

warga di salah satu kelurahan di daerah Tuban, Jawa Timur yang viral tahun lalu, karena tanah mereka dibayar mahal oleh Pertamina, saat ini bisa dikata berakhir tragis. Meski tidak terjadi pada semuanya, tapi seperti diberitakan berbagai media, ada banyak warga Tuban yang kemudian mengeluh sehubungan ketidakmampuan mereka untuk hidup layak kembali seperti sebelumnya.

Sekadar mengingatkan kita bahwa pada Februari 2021, media massa mengabarkan bahwa terjadi fenomena membeli mobil mewah oleh warga Tuban ini. Tak hanya satu, beberapa warga juga membeli kendaraan sampai tiga unit dengan jenis kendaraan yang cukup variatif dan di antaranya cukup mewah.

Terang saja publik cukup geger dengan fenomena ini. Tidak sedikit yang kemudian memberi komentar pedas, terutama pada perilaku aji mumpung yang ditunjukkan oleh warga desa. Bisa jadi di antara kritik pedas itu beberapa akhirnya terbukti dengan peristiwa demonstrasi beberapa warga yang mengeluh karena kembali jadi miskin.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh warga desa ketika mereka mengalokasikan sebagian dana yang diperolehnya untuk membeli barang-barang yang termasuk mewah tersebut. Sebab jika meminjam pisau analisa sosiologi, apa yang dilakukan oleh warga desa merupakan ekspresi status sosial yang ingin diraihnya selama ini.

Status sosial adalah keadaan relatif yang melekat pada seseorang ketika dibandingkan dengan orang lain dalam beberapa hal seperti kekayaan, pekerjaan, jabatan, bahkan gaya hidup. Meski bersifat abstrak, namun status sosial telah melekat pada persepsi masyarakat karena di dalamnya terhimpun seperangkat nilai yang muncul dalam suatu kemufakatan dan kesepakatan atas penguasaan sejumlah sumber daya baik yang fisik maupun yang simbolik.

Penguasaan-penguasaan atas ruang-ruang simbolik sangat penting untuk menunjukkan kepada orang luar mengenai penguasaan atas sumber daya lain seperti kekuasaan, kekuatan, bahkan prestise. Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa untuk memperoleh status sosial tertentu, seseorang harus menjangkau posisi tertentu dengan mengalokasikan sejumlah sumber daya yang dimilikinya.

Secara praktis status sosial seseorang akan dinilai pada apa yang terlihat secara kasatmata di mata orang banyak. Sebagai contoh seseorang akan dianggap sebagai orang kaya karena dia menggunakan kendaraan yang mahal dan mewah, atau memperlihatkan tinggal di rumah yang megah, atau memvisualisasikan liburan di tempat yang eksklusif. Tidak peduli bahwa semua itu editan atau bukan kenyataan aslinya, atau hanya ekspresi sesaat yang ada pada media sosial, tetapi orang-orang akan memberikan penilaian pada apa yang terlihat di media tersebut.

Status sosial juga merupakan proses beranjaknya seseorang dalam kelas sosial. Jika kelas sosial ditopang oleh kemampuan riil dalam sistem ekonomi, status sosial hadir ketika posisi tertentu sudah diraihnya. Contoh, seseorang yang tadinya biasa saja, lalu setelah berbisnis atau bekerja kemudian memperoleh kekayaan dalam jumlah yang banyak, maka dengan sendirinya dia akan terkerek atau tertarik pada status sosial tertentu.

Kendati demikian, tidak semua menyadari bahwa status sosial itu didapatkan seseorang karena ada upaya atau sudah merupakan melekat atau bawaan. Status sosial seorang raden, misalnya, akan tetap melekat pada seseorang karena ia turunan bangsawan; atau status anak orang kaya, dan sebagainya. Sedangkan status lainnya adalah seperti yang sudah dijelaskan di atas mengenai penguasaan atas ihwal simbolik.

KISAH warga di salah satu kelurahan di daerah Tuban, Jawa Timur yang viral tahun lalu, karena tanah mereka dibayar mahal oleh Pertamina, saat ini bisa dikata berakhir tragis. Meski tidak terjadi pada semuanya, tapi seperti diberitakan berbagai media, ada banyak warga Tuban yang kemudian mengeluh sehubungan ketidakmampuan mereka untuk hidup layak kembali seperti sebelumnya.

Sekadar mengingatkan kita bahwa pada Februari 2021, media massa mengabarkan bahwa terjadi fenomena membeli mobil mewah oleh warga Tuban ini. Tak hanya satu, beberapa warga juga membeli kendaraan sampai tiga unit dengan jenis kendaraan yang cukup variatif dan di antaranya cukup mewah.

Terang saja publik cukup geger dengan fenomena ini. Tidak sedikit yang kemudian memberi komentar pedas, terutama pada perilaku aji mumpung yang ditunjukkan oleh warga desa. Bisa jadi di antara kritik pedas itu beberapa akhirnya terbukti dengan peristiwa demonstrasi beberapa warga yang mengeluh karena kembali jadi miskin.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh warga desa ketika mereka mengalokasikan sebagian dana yang diperolehnya untuk membeli barang-barang yang termasuk mewah tersebut. Sebab jika meminjam pisau analisa sosiologi, apa yang dilakukan oleh warga desa merupakan ekspresi status sosial yang ingin diraihnya selama ini.

Status sosial adalah keadaan relatif yang melekat pada seseorang ketika dibandingkan dengan orang lain dalam beberapa hal seperti kekayaan, pekerjaan, jabatan, bahkan gaya hidup. Meski bersifat abstrak, namun status sosial telah melekat pada persepsi masyarakat karena di dalamnya terhimpun seperangkat nilai yang muncul dalam suatu kemufakatan dan kesepakatan atas penguasaan sejumlah sumber daya baik yang fisik maupun yang simbolik.

Penguasaan-penguasaan atas ruang-ruang simbolik sangat penting untuk menunjukkan kepada orang luar mengenai penguasaan atas sumber daya lain seperti kekuasaan, kekuatan, bahkan prestise. Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa untuk memperoleh status sosial tertentu, seseorang harus menjangkau posisi tertentu dengan mengalokasikan sejumlah sumber daya yang dimilikinya.

Secara praktis status sosial seseorang akan dinilai pada apa yang terlihat secara kasatmata di mata orang banyak. Sebagai contoh seseorang akan dianggap sebagai orang kaya karena dia menggunakan kendaraan yang mahal dan mewah, atau memperlihatkan tinggal di rumah yang megah, atau memvisualisasikan liburan di tempat yang eksklusif. Tidak peduli bahwa semua itu editan atau bukan kenyataan aslinya, atau hanya ekspresi sesaat yang ada pada media sosial, tetapi orang-orang akan memberikan penilaian pada apa yang terlihat di media tersebut.

Status sosial juga merupakan proses beranjaknya seseorang dalam kelas sosial. Jika kelas sosial ditopang oleh kemampuan riil dalam sistem ekonomi, status sosial hadir ketika posisi tertentu sudah diraihnya. Contoh, seseorang yang tadinya biasa saja, lalu setelah berbisnis atau bekerja kemudian memperoleh kekayaan dalam jumlah yang banyak, maka dengan sendirinya dia akan terkerek atau tertarik pada status sosial tertentu.

Kendati demikian, tidak semua menyadari bahwa status sosial itu didapatkan seseorang karena ada upaya atau sudah merupakan melekat atau bawaan. Status sosial seorang raden, misalnya, akan tetap melekat pada seseorang karena ia turunan bangsawan; atau status anak orang kaya, dan sebagainya. Sedangkan status lainnya adalah seperti yang sudah dijelaskan di atas mengenai penguasaan atas ihwal simbolik.

Maka itu, ketika warga desa berbondong-bondong membeli mobil baru dan cukup mahal untuk pendapatan mereka, sebetulnya hanya mengaktualisasikan apa yang ada di dalam pikiran mereka tentang status sosial. Bisa jadi kehendak untuk memiliki barang-barang tersebut dalam pertimbangan rasional mereka pun sebetulnya tidak memiliki nilai praktis yang nyata. Namun, karena didorong oleh keinginan menempatkan diri pada status sosial tertentu, mereka pun rela mengeluarkan dana hasil penjualan tanahnya itu untuk memenuhi hasrat status sosial tersebut.

Pemberdayaan Pendekatan TKI

Lalu, setelah status sosial didapatkan dan kemudian cukup menghebohkan, apakah permasalahan riil harian mereka selesai?

Seperti disinggung di atas, ada banyak jalan pintas untuk mengejar status. Karena mendapatkannya melalui jalur shortcut itu, maka wajar jika kemudian kemelekatannya pun rapuh. Ketika ternyata status sosial itu tidak permanen dan harus ditopang atau disangga oleh sejumlah tindakan sosial, seperti tetap memiliki penghasilan tetap, maka mereka ini kemudian roboh. Roboh karena tidak kuat; dan roboh karena memang belum memiliki pengalaman ada di situ.

Seharusnya pembayaran “ganti untung” oleh perusahaan kepada masyarakat sudah bisa membaca hal ini dari awal. Sehingga, meski secara material kewajiban itu sudah dipenuhi oleh perusahaan, namun ada kewajiban moral yang melekat, yaitu memberikan wawasan dan skill tentang pengelolaan keuangan agar kejadian seperti sekarang bisa diantisipasi lebih dini.

Pemahaman mengenai perencanaan keuangan dan investasi, terutama ketika harus melakukan shifting modal, sangat penting dibangun pola dan modelnya. Mengingat kejadian seperti di Tuban ini pasti bisa terjadi juga di tempat lain. Di sinilah kemudian apa yang sering disebutkan sebagai pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan, terutama pada kelompok rentan seperti masyarakat perdesaan.

Ada sejumlah teknik pemberdayaan yang bisa dilakukan salah satunya adalah pendekatan “transformasi-komunitas-institusionalisasi” atau Pendekatan TKI (Hermansah, 2017). Pendekatan ini menawarkan pola pemberian pengetahuan terlebih dahulu kepada subjek yang akan diberdayakan, termasuk memberikan pemahaman atas risiko-risiko yang mungkin timbul seiring kepemilikan atau kehilangan atas suatu sumberdaya.

Lalu, pascatransformasi adalah pengembangan dan penguatan komunitas yang diikat oleh satu kesadaran bersama bahwa mereka adalah komunitas yang memiliki ikatan bersama pada aset yang sudah hilang karena tergusur meski mendapatkan ganti yang signifikan. Setelah kesadaran komunitasnya menguat, maka sebagian dari mereka diajak untuk membangun ikatan lebih formal dalam sebuah lembaga, misalnya koperasi dan sebagainya. Lembaga hasil institusionalisasi itu bisa menjadi katalisator permasalahan warga yang mendapatkan maupun kehilangan aset atau sumber daya yang selama ini menjadi tempat menggantungkan hidupnya. (zm)

Penulis adalah Pengampu Kuliah Sosiologi Perdesaan UIN Jakarta dan Sekjen Asosiasi Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam-P2MI. Artikelnya dimuat di laman opini Koran SINDO, Rabu, 16 Februari 2022.

KISAH warga di salah satu kelurahan di daerah Tuban, Jawa Timur yang viral tahun lalu, karena tanah mereka dibayar mahal oleh Pertamina, saat ini bisa dikata berakhir tragis. Meski tidak terjadi pada semuanya, tapi seperti diberitakan berbagai media, ada banyak warga Tuban yang kemudian mengeluh sehubungan ketidakmampuan mereka untuk hidup layak kembali seperti sebelumnya.

Sekadar mengingatkan kita bahwa pada Februari 2021, media massa mengabarkan bahwa terjadi fenomena membeli mobil mewah oleh warga Tuban ini. Tak hanya satu, beberapa warga juga membeli kendaraan sampai tiga unit dengan jenis kendaraan yang cukup variatif dan di antaranya cukup mewah.

Terang saja publik cukup geger dengan fenomena ini. Tidak sedikit yang kemudian memberi komentar pedas, terutama pada perilaku aji mumpung yang ditunjukkan oleh warga desa. Bisa jadi di antara kritik pedas itu beberapa akhirnya terbukti dengan peristiwa demonstrasi beberapa warga yang mengeluh karena kembali jadi miskin.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh warga desa ketika mereka mengalokasikan sebagian dana yang diperolehnya untuk membeli barang-barang yang termasuk mewah tersebut. Sebab jika meminjam pisau analisa sosiologi, apa yang dilakukan oleh warga desa merupakan ekspresi status sosial yang ingin diraihnya selama ini.

Status sosial adalah keadaan relatif yang melekat pada seseorang ketika dibandingkan dengan orang lain dalam beberapa hal seperti kekayaan, pekerjaan, jabatan, bahkan gaya hidup. Meski bersifat abstrak, namun status sosial telah melekat pada persepsi masyarakat karena di dalamnya terhimpun seperangkat nilai yang muncul dalam suatu kemufakatan dan kesepakatan atas penguasaan sejumlah sumber daya baik yang fisik maupun yang simbolik.

Penguasaan-penguasaan atas ruang-ruang simbolik sangat penting untuk menunjukkan kepada orang luar mengenai penguasaan atas sumber daya lain seperti kekuasaan, kekuatan, bahkan prestise. Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa untuk memperoleh status sosial tertentu, seseorang harus menjangkau posisi tertentu dengan mengalokasikan sejumlah sumber daya yang dimilikinya.

Secara praktis status sosial seseorang akan dinilai pada apa yang terlihat secara kasatmata di mata orang banyak. Sebagai contoh seseorang akan dianggap sebagai orang kaya karena dia menggunakan kendaraan yang mahal dan mewah, atau memperlihatkan tinggal di rumah yang megah, atau memvisualisasikan liburan di tempat yang eksklusif. Tidak peduli bahwa semua itu editan atau bukan kenyataan aslinya, atau hanya ekspresi sesaat yang ada pada media sosial, tetapi orang-orang akan memberikan penilaian pada apa yang terlihat di media tersebut.

Status sosial juga merupakan proses beranjaknya seseorang dalam kelas sosial. Jika kelas sosial ditopang oleh kemampuan riil dalam sistem ekonomi, status sosial hadir ketika posisi tertentu sudah diraihnya. Contoh, seseorang yang tadinya biasa saja, lalu setelah berbisnis atau bekerja kemudian memperoleh kekayaan dalam jumlah yang banyak, maka dengan sendirinya dia akan terkerek atau tertarik pada status sosial tertentu.

Kendati demikian, tidak semua menyadari bahwa status sosial itu didapatkan seseorang karena ada upaya atau sudah merupakan melekat atau bawaan. Status sosial seorang raden, misalnya, akan tetap melekat pada seseorang karena ia turunan bangsawan; atau status anak orang kaya, dan sebagainya. Sedangkan status lainnya adalah seperti yang sudah dijelaskan di atas mengenai penguasaan atas ihwal simbolik.

Maka itu, ketika warga desa berbondong-bondong membeli mobil baru dan cukup mahal untuk pendapatan mereka, sebetulnya hanya mengaktualisasikan apa yang ada di dalam pikiran mereka tentang status sosial. Bisa jadi kehendak untuk memiliki barang-barang tersebut dalam pertimbangan rasional mereka pun sebetulnya tidak memiliki nilai praktis yang nyata. Namun, karena didorong oleh keinginan menempatkan diri pada status sosial tertentu, mereka pun rela mengeluarkan dana hasil penjualan tanahnya itu untuk memenuhi hasrat status sosial tersebut.

Pemberdayaan Pendekatan TKI

Lalu, setelah status sosial didapatkan dan kemudian cukup menghebohkan, apakah permasalahan riil harian mereka selesai?

Seperti disinggung di atas, ada banyak jalan pintas untuk mengejar status. Karena mendapatkannya melalui jalur shortcut itu, maka wajar jika kemudian kemelekatannya pun rapuh. Ketika ternyata status sosial itu tidak permanen dan harus ditopang atau disangga oleh sejumlah tindakan sosial, seperti tetap memiliki penghasilan tetap, maka mereka ini kemudian roboh. Roboh karena tidak kuat; dan roboh karena memang belum memiliki pengalaman ada di situ.

Seharusnya pembayaran “ganti untung” oleh perusahaan kepada masyarakat sudah bisa membaca hal ini dari awal. Sehingga, meski secara material kewajiban itu sudah dipenuhi oleh perusahaan, namun ada kewajiban moral yang melekat, yaitu memberikan wawasan dan skill tentang pengelolaan keuangan agar kejadian seperti sekarang bisa diantisipasi lebih dini.

Pemahaman mengenai perencanaan keuangan dan investasi, terutama ketika harus melakukan shifting modal, sangat penting dibangun pola dan modelnya. Mengingat kejadian seperti di Tuban ini pasti bisa terjadi juga di tempat lain. Di sinilah kemudian apa yang sering disebutkan sebagai pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan, terutama pada kelompok rentan seperti masyarakat perdesaan.

Ada sejumlah teknik pemberdayaan yang bisa dilakukan salah satunya adalah pendekatan “transformasi-komunitas-institusionalisasi” atau Pendekatan TKI (Hermansah, 2017). Pendekatan ini menawarkan pola pemberian pengetahuan terlebih dahulu kepada subjek yang akan diberdayakan, termasuk memberikan pemahaman atas risiko-risiko yang mungkin timbul seiring kepemilikan atau kehilangan atas suatu sumberdaya.

Lalu, pascatransformasi adalah pengembangan dan penguatan komunitas yang diikat oleh satu kesadaran bersama bahwa mereka adalah komunitas yang memiliki ikatan bersama pada aset yang sudah hilang karena tergusur meski mendapatkan ganti yang signifikan. Setelah kesadaran komunitasnya menguat, maka sebagian dari mereka diajak untuk membangun ikatan lebih formal dalam sebuah lembaga, misalnya koperasi dan sebagainya. Lembaga hasil institusionalisasi itu bisa menjadi katalisator permasalahan warga yang mendapatkan maupun kehilangan aset atau sumber daya yang selama ini menjadi tempat menggantungkan hidupnya. (zm)

Penulis adalah Pengampu Kuliah Sosiologi Perdesaan UIN Jakarta dan Sekjen Asosiasi Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam-P2MI. Artikelnya dimuat di laman opini Koran SINDO, Rabu, 16 Februari 2022.

Judul Buku     : Kuliah Kok Mahal? (Pengantar Kritis Memahami Privatisasi,  Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi)

Penulis            : Panji Mulkillah Ahmad

Penerbit          : Best Line Press

Cetakan          : Pertama, April 2018

Tebal               : vii + 251 Halaman/SC/Book Paper

“Pasar dan penjara, mahal dan fasis” barangkali itu kata yang tepat untuk menggambarkan isi buku “Kuliah Kok Mahal?” ini. Buku ini ditulis oleh Panji Mulkillah Ahmad. Di dalamnya mengulas praktik pendidikan tinggi yang menurut Panji semakin disorientasi, mulai dari biaya kuliah yang kian mahal, penyalahgunaan anggaran pendidikan, birokrasi kampus yang makin tidak demokratis, kurikulum yang berorientasi pasar, maraknya pungutan liar, kekerasan akademik serta setumpuk persoalan-persoalan lainnya. Tema-tema seperti UKT, PTN-BH, UU Dikti, kredit pendidikan, liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi  sampai pada wacana gerakan massa diulas secara detail.

Buku ini bagi penulisnya didedikasikan untuk siapapun terutama mereka yang selama ini menjadi korban dari maling-maling berdasi di institusi pemerintahan dan institusi pendidikan. Buku ini mengupas habis tentang mahalnya pendidikan tinggi di negeri ini. Mencari kuliah murah apalagi berkualitas di republik ini rasa-rasanya sulit sekali, seperti mencari jarum dalam timbunan jerami. Semua hal dikenakan biaya, tentu dengan beban biaya yang cukup besar, ditambah lagi pungutan-pungutan liar tambahan. Hal ini menyebabkan hanya mereka yang kaya saja yang berkesempatan untuk mengakses pendidikan tinggi.

Tak hanya itu, persoalan pokok lain yaitu pengambil kebijakan tidak sensitif untuk segera merespon mahalnya biaya pendidikan, banyak kampus yang statusnya negeri tapi malah dikelola seperti perguruan tinggi swasta. Kalau negeri saja nasibnya seperti demikian, bagaimana dengan kampus-kampus swasta. Prakteknya kita menemukan fakta bahwa ada banyak perguruan tinggi yang diswastanisasi karena malasnya pemerintah mengambil peran. Buktinya bisa kita lihat pada politik hukum pemerintah yang lebih memprioritaskan APBN ke pertahanan keamanan dan infrastruktur daripada ke sektor pendidikan. Seolah-olah kita dibawa untuk kembali ke jaman rimba, yang kuat yang menang.

Sepuluh tahun terakhir, gelombang protes atas kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi semakin masif. Hal ini seiring dengan biaya kuliah yang meningkat lebih dari 10 kali lipat selama beberapa tahun terakhir. Tentu mahalnya biaya kuliah akan sangat menghambat kemajuan generasi muda Indonesia dalam membangun bangsanya. Hal ini terbukti dari mayoritas angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan SD dan SMP, sedangkan yang merupakan lulusan sarjana dan diploma hanya 11 persen saja. Cukup jauh dari negara tetangga seperti Malaysia yang sarjana dan diplomanya mencapai 24 persen, ataupun Singapura yang mencapai 29 persen dari angkatan kerja di negerinya. Dengan riwayat pendidikan formal yang rendah, banyak generasi muda Indonesia terserap di industri sebagai buruh murah dengan hubungan kerja yang tidak adil seperti outsourcing dan kontrak berkepanjangan, maupun sebagai buruh migran di luar negeri yang minim perlindungan.

Secara global, keadaan pendidikan amatlah memprihatinkan. Pendidikan berubah  menjadi proses dehumanisasi, dimana orang kehilangan kemanusiaannya justru dengan belajar untuk mengembangkan dirinya. Inilah ironi pendidikan terbesar di abad 21. Tak heran jika Noam Chomsky, menulis di dalam bukunya yang berjudul Class Warfare, bahwa pendidikan justru membunuh kecerdasan, kepekaan moral dan kebahagiaan yang merupakan tiga ciri utama kemanusiaan. Kalau kita analisis lebih dalam sepertinya praktek liberalisasi pendidikan di Indonesia jauh melebihi negara-negara yang mengaku menganut sistem liberal sekalipun di Eropa dan Amerika. Akibatnya sekolah-sekolah, kampus-kampus hanya menghasilkan mesin pekerja tanpa peduli apa potensi Anda sebenarnya. Di dalam proses itu, soal-soal yang amat penting, seperti pendidikan kemanusiaan, kepedulian sosial dan pendidikan nilai, justru sama sekali diabaikan.

Membaca buku ini, kita akan sampai pada kesimpulan sederhana bahwa sebetulnya pendidikan kita belum benar-benar menjalankan mandat konstitusi, sebab faktanya kita masih merasakan pendidikan terjebak dalam penjara-penjara feodalisme dan kapitalisme. Pertama adalah minimnya sarana dan prasarana. Kedua, ketimpangan akses bagi warga negara. Ketiga rendahnya kualitas tenaga pendidik dan kependidikan. Dan keempat kurikulum pendidikan yang bongkar pasang dan seringkali salah memilih paradigma pendidikan yang tepat.

Padahal Indonesia adalah negara yang punya cita-cita mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara yang melindungi warganya, termasuk dalam hal menjamin pemenuhan hak atas pendidikan. Negara mengupayakan pembebasan anak didik dari kemiskinan serta kebodohan, mendewasakan di dalam berpikir (rasional) dan bertindak (bertanggung jawab), serta membuatnya sadar akan situasi diri maupun masyarakatnya. Tetapi dalam kenyataannya, pendidikan diperlakukan seperti komoditas yang diperdagangkan (baca bab xvi). Apa yang membuat pendidikan seperti seolah diperdagangkan? Apakah mungkin pendidikan dapat dijadikan barang dagangan? Kenapa kuliah semakin mahal? Apa yang bisa dilakukan? Buku ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Buku ini tidak hanya asal menghujat mahalnya pendidikan di Indonesia, namun juga dilengkapi dengan data-data konkrit dan berita-berita nyata. Buku ini mengajak kita tertawa, dan di saat yang sama kritis melihat dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Buku ini layak dijadikan referensi sebagai evaluasi bagi kita bagaimana kondisi kehidupan pendidikan di republik Indonesia, juga renungan bagi para pengambil kebijakan, para pendidik, para aktivis mahasiswa dan semuannya yang menginginkan negeri adil makmur dan damai serta pendidikan yang menghasilkan sumberdaya berkualitas dan cerdas.

Melalui buku ini, kita dapat ikut merasakan bagaimana pilunya hati tak dapat menimba ilmu karena tak memiliki uang. Begitulah buku banyak bercerita, buku ini meneriakkan kembali suara protes untuk mengingatkan kembali bahwa pendidikan yang bobrok menghasilkan lulusan yang juga bobrok, lemah, bodoh dan tak bermoral. Buku ini menjadi nyanyian yang mengingatkan bahwa kuliah harus murah dan juga membangkitkan kembali sebuah mimpi kuliah ideal bahwa pendidikan harus murah bahkan gratis, ilmiah, demokratis, mengabdi pada rakyat dan kemanusiaan. Alasan konstitusional mengapa kuliah harus murah, adalah bunyi amandemen UUD 1945 yang mewajibkan kuliah bisa menampung semua warga. Karenanya, kuliah memang perlu murah agar bisa menyedot semua orang.

Lalu apa solusi yang ditawarkan oleh buku ini ? dihalaman 210 pertanyaan itu terjawab. Sebagai penutup, saya mengajak anda dan kita semua untuk membaca buku ini.

sumber gambar: twitter.com/panjimulki

Anda mungkin ingin melihat