Mendapatkan Balasan Neraka
Seorang muslim yang dengan sengaja memakan makanan haram tidak akan mendapat balasan kecuali neraka.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, beliau berkata, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR Tirmidzi)
Orang yang gemar atau sengaja makan makanan haram padahal sudah jelas makanan tersebut haram, maka konsekuensinya ia akan memiliki hati yang keras melebihi batu.
Apabila hati manusia sudah menjadi keras, maka ia akan sulit untuk menerima kebenaran dan akan terus berada dalam kesesatan.
Hukum Memakan Makanan yang Haram Tetapi Tidak Mengetahuinya
Seorang muslim sudah seharusnya menjaga makanan yang dia makan agar hanya barang yang halal saja yang masuk ke dalam perutnya. Dia harus selalu menghindari makanan yang diharamkan Allah SWT.
Namun dalam kehidupan ini tentu ada hal yang tidak bisa dikendalikan. Bagaimana hukum memakan makanan yang haram tetapi tidak mengetahuinya?
Disebutkan dalam buku Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam apabila seseorang terpaksa atau dalam keadaan tak sengaja dan tak sadar memakan barang haram, maka ia wajib memuntahkan jika bisa.
Hukum memakan makanan yang haram tetapi tidak mengetahuinya tidak akan ditimpakan dosa bagi orang tersebut atas kemurahhatian Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku 50 Masalah Agama Bagi Muslim Bali karya Bagenda Ali.
"Tentunya apabila seseorang muslim memakan daging babi karena ketidaktahuan bahwa yang dimakan adalah daging babi, hal itu termasuk sesuatu yang dimaafkan (tidak berdosa)," tulis buku tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa." (HR Ibnu Majah)
Jadi, apabila seorang muslim tersebut benar-benar tidak mengetahui tentang keharaman makanan yang ia konsumsi maka hal itu tidak tergolong dosa di sisi Allah SWT.
Hal yang harus dilakukan muslim tersebut menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz adalah berkumur-kumur dan mencuci mulutnya dari sisa-sisa najis dan mencuci tangannya. Jika sudah di masa lampau maka dia tidak melakukan apa-apa.
Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi menambahkan bahwa tidak ada kewajiban apa-apa bagi orang yang tidak sengaja atau tidak mengetahui makanannya haram. Yang perlu ia lakukan adalah berhati-hati dan waspada di masa depan. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Jilid 4, No 7290 pertanyaan ke-5)
Hukum Memakan Ikan Hiu dan Anjing Laut
Bagaimanakah hukum memakan ikan hiu dan anjing laut?
Fauzi, Probolinggo, Jawa Timur (disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulhijjah 1430 H / 11 Desember 2009)
Ikan hiu (Inggris: shark) dalam literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu (القِرْشُ). Dalam Kamus al-Maurid, diterangkan bahwa:
اَلْقِرْشُ سَمَكٌ بَعْضُهُ كَبِيْرٌ يُخْشَى شَرُّهُ.
Artinya: “Shark (ikan hiu) adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti kebuasannya.”
Ikan hiu hukumnya mubah, karena termasuk binatang laut yang hukumnya halal menurut keumuman dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62).
Dalil al-Qur`an antara lain firman Allah SWT:
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” [QS. al-Maidah (5): 96]
Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan:
قَوْلُهُ تَعَالَى ”أحلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ“ هَذَا حُكْمٌ بِتَحْلِيْلِ صَيْدِ البَحْرِ وَهُوَ كُلُّ مَا صُيِّدَ مِنْ حَيَاتِهِ.
Artinya: “Firman Allah ta’alaأحِلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya …” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Imam al-Qurthubi, 6/318)
Dalil hadits, antara lain adalah sabda Nabi saw:
وَقَالَ مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ، أَنَّ رَجُلاً مِنْهُمْ، قَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّا نَرْكَبُ أَرْمَاثًا فِي الْبَحْرِ، فَنَحْمِلُ مَعَنَا الْمَاءَ لِلشفه، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَائِنَا عَطِشْنَا، وَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَاءِ الْبَحْرِ، كَانَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهُ شَيْءٌ! فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
Artinya: “Musaddad berkata: Yahya telah menceriterakan kepada kami dari Yahya bin Sa’id al-Anshari, Abdullah bin Mughirah telah menceriterakan kepada kami dari seseorang yang berasal dari Bani Mudlij, bahwa seorang diantara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh kami mengendarai kapal di laut, lalu kami membawa air untuk kami minum (agar tidak haus), Jika kami menggunakan air tersebut untuk wudhu, maka kami mengalami kehausan. Dan jika kami menggunakan air laut (untuk berwudhu), maka kami merasakan sesuatu (yang membuat ragu)! Lalu Nabi saw bersabda: “Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya.” [HR. Malik, Ashhabus-Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain, lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, no. 491]
Dalam kitab Aunul-Ma’bud dijelaskan, hadits di atas menunjukkan beberapa hukum, di antaranya:
أنّ جَمِيْعَ حَيَوَانَاتِ الْبَحْرِ أي مَا لا يَعِيشُ إلا بِالْبَحْرِ حَلالٌ
Artinya: “Semua hewan-hewan laut, yaitu hewan yang tidak dapat hidup kecuali di laut, adalah halal.” (Muhammad Syamsul-Haq al-Azhim Abadiy Abu ath-Thayyib, Aunul-Ma’bud, Juz 1/107)
Jadi, semua hewan laut adalah halal berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini adalah ikan hiu.
Memang ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mengharamkan ikan hiu, karena ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya’duw bi-naabihi). (Abul ‘Ala` al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus-Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring:
وَحَدَّثَنِى هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرٌو – يَعْنِى ابْنَ الْحَارِثِ – أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىِّ عَنْ أَبِى ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Artinya: “Telah menceriterakan kepada kami Harun bin Sa’id Al-Aili, telah menceriterakan kepada kami Ibnu Wahab, telah memberitakan kepada kami Amr—yaitu Ibnu Harits—bahwa Ibnu Syihab telah berkata kepadanya dari Abu Idris al-Khaulani dari Abu Tsa’labah al-Khusyani bahwa, Nabi saw telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” [Shahih Muslim, Bab Haramnya Memakan Binatang Buas yang Bertaring, Juz 6, hal. 60]
Namun, al-Muhib ath-Thabari memfatwakan bahwa ikan hiu adalah halal, mengikuti fatwa Ibnul-Atsir dalam kitabnya an-Nihayah. Menurut Syaikh al-Khathib asy-Syarbini pengarang kitab Mughni al-Muhtaj pendapat yang menghalalkan ini adalah zhahir (jelas). (asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus-Sabiil mengatakan, pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah. (Ibrahim bin Muhammad; Manarus-Sabiil, 2/368).
Yang lebih rajih menurut kami, adalah pendapat yang menyatakan bahwa ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang telah disebutkan di atas. Adapun dalil hadits dari Abu Tsala’bah al-Khusyani di atas yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan ikan hiu, tidak dapat diterima, karena hadits tersebut hanya berlaku untuk binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayawan al-barr), tidak mencakup binatang bertaring dari hewan-hewan laut (hayawan al-bahr). Hal ini dikarenakan telah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang laut secara umum.
Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan hukum halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits dari Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meskipun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring, tidak mencakup binatang laut yang bertaring. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.
Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas secara umum, hingga mencakup pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian, tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua binatang laut, tidak diamalkan.
Berdasarkan hal itu, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa pendapat yang menghalalkan ikan hiu adalah lebih kuat (rajih), karena berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada, sebagaimana dijelaskan di atas.
Mengenai anjing laut, perlu diketahui lebih dahulu bahwa ada dua pendapat yang saling berlawanan tentang apakah mamalia ini termasuk binatang darat (hayawanul-barr) ataukah binatang laut (hayawanul-bahr). Yusuf al-Qaradawi dalam Halal Haram dalam Islam mengkategorikan anjing laut sebagai binatang laut. Sementara dalam rubrik Konsultasi Agama: Hukum Binatang yang Hidup di Dua Alam di situs Voice of Islam (http://www.voa-islam.net/), anjing laut digolongkan ke dalam kategori lebih dominan sebagai binatang darat. Sekalipun demikian, jumhur ‘ulama bersepakat tentang bolehnya memakan daging anjing laut. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil nash yang menjelaskan mengenai keharamannya, dan oleh karena itu berlaku hukum asalnya yaitu boleh.
Pengikut Hambali termasuk yang memasukkan anjing laut ke dalam kategori binatang laut. Namun mereka berpendapat, karena anjing laut merupakan hewan yang berbeda dengan hewan laut pada umumnya, sebab anjing laut memiliki darah yang mengalir dan sering hidup di darat, maka mereka mensyaratkan agar ia disembelih lebih dahulu. (Lihat al-Mughni, Jilid 11, hal: 83). Oleh karena itu, ia tidak halal dimakan apabila mati tanpa disembelih terlebih dahulu, berbeda dengan beberapa jenis ikan, ikan paus dan semacamnya dari spesies hewan laut yang tidak hidup kecuali di air. Apalagi bagi yang berpendapat bahwa anjing laut termasuk binatang darat (meskipun mempunyai kemampuan bertahan sangat lama di dalam air dan berenang dengan sangat baik), maka syarat harus disembelih adalah mutlak sebagaimana binatang darat sembelihan yang lain.
Jumhur ‘ulama cenderung tidak mensyaratkan anjing laut harus disembelih terlebih dahulu, sebab hal ini termasuk perkara yang umum dengan berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari, sebagaimana yang telah dicantumkan sebelumnya. (Lihat Syarah Bulughul-Maram asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, Juz 2, hal: 5). Namun berbeda dengan jumhur ulama, berdasarkan keterangan-keterangan di atas, kami menyimpulkan bahwa anjing laut halal dimakan, tetapi dengan syarat harus disembelih terlebih dahulu.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2010
Allah SWT Menolak Ibadahnya
Dampak yang pertama ketika seorang muslim dengan sengaja makan barang haram adalah tidak akan diterima amal ibadahnya walaupun ia dengan rajin mengerjakannya.
Ibnu Abbas meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqash bahwasanya Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Sa'ad, "Wahai Sa'ad, perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal), niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak untuknya." (HR Thabrani)
PERBEDAAN YANG TERJADI PADA HARTA HARAM YANG DIMILIKI KARENA PEKERJAANNYA, APAKAH JIKA HARTA TERSEBUT BERPINDAH KEPADA ORANG LAIN DENGAN WARISAN ATAU DENGAN HIBAH LALU BERUBAH MENJADI HALAL?
Pertanyaan Ada masalah yang mengganggu fikiran saya, dan kebanyakan orang selalu bertanya-tanya, hal ini berkaitan dengan hukum transaksi terhadap harta yang haram, baik karena warisan, serah terima, seperti hadiah, hibah, diterima setelah proses barter, hutang piutang, dan bentuk lainnya dalam transaksi yang tidak mungkin banyak orang akan mengalami sebagiannya, saya telah mencari sesuai dengan kemampuan saya, ditengah upaya tersebut saya mencari petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang dikuatkan dengan dalil yang shahih tanpa ada kemungkinan lain dalam memahaminya untuk dijadikan sebagai dalil, atau karena lemah sanadnya, maka saya fokus pada pembagian ulama tentang harta haram yang dibagi menjadi dua bagian:
Haram karena dzatnya, gambarannya adalah harta hasil curian, hal ini sudah disepakati –menurut pemahaman saya- akan keharamannya, kaharamannya tidak berubah menjadi halal karena berpindah dari tangan ke tangan lainnya. Meskipun perpindahan harta tersebut pada dasarnya adalah mubah, seperti warisan, hadiah, hibah, barter, atau hutang yang baik.
Yang menjadi masalah menurut saya pada uang haram karena pekerjaannya dan bukan dzatnya, maksud saya di sini adalah menentukan uang haram itu semuanya, bukan yang masih bercampur, yang menjadi masalah adalah saya mendapatkan jumhur ulama menyamakan harta ini dengan harta haram karena dzatnya, maka hukumnya tidak berubah karena adanya perpindahan tangan. Saya tidak mendapatkan dalil yang meyakinkan diri saya bersama jumhur, hal itu tidak diragukan lagi karena keterbatasan pencarian saya, minimnya cara ilmiyah dan penelitian saya, pada sisi lain saya mendapatkan beberapa ulama seperti Syeikh Utsaimin yang membolehkan bunga bank konvensional jika sudah berpindah kepada para ahli waris, fatwa tersebut terpercaya yang diunggah pada website terpercaya, dan terkadang saya ingat sikap jumhur dalam masalah tersebut, maka saya hawatir terhadap diri sendiri, hal itu karena kemuliaan jumhur ulama menurut saya.
Pada saat yang sama saya tidak mendapatkan dalil setelah keterbaTasan penelitian saya yang mendorong saya untuk mengambil pendapat mereka dan menolak petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari hadits Barirah. Maka apakah yang menjadi dalil madzhabnya Jumhur ?, apakah masalah khilafiyah tersebut yang termasuk yang dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat apalagi saya yang tidak sependapat dengan madzhabnya jumhur ?
Jawaban Alhamdulillah.
Pertama: Harta haram itu ada dua:
Jenis kedua ini ada perbedaan pendapat dari dua sisi: Pertama: Terkait dengan pelakunya jika ia bertaubat, apakah ia wajib mengembalikan atau disedekahkan atau boleh dimiliki ?
Kaitannya dengan boleh dimiliki, apakah dibedakan antara orang yang tidak tahu kalau hukumnya haram dan orang yang sudah mengetahuinya ?
Silahkan dibaca penjelasan masalah ini pada jawaban soal nomor: 219679
Kedua : Apakah harta tersebut menjadi halal bagi orang selain pelakunya, seperti pindahnya harta tersebut kepada orang lain karena sebab yang mubah, seperti karena hibah, diwariskan, atau untuk nafkah ataukah tetap tidak halal ?
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat: Pertama : Tetap tidak halal bagi pelakunya dan juga bagi orang lain.
Ini pendapatnya jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan yang dipilih oleh Lajnah Daimah.
Kedua : Harta tersebut menjadi halal bagi selain pelakunya, jika harta tersebut berpindah dari pelaku kepada orang lain dengan cara yang halal, seperti; hibah, warisan dan lain sebagainya.
Pendapat inilah yang menjadi sandaran Malikiyah, dan sebagian Hanafiyyah, Hasan Al Basri, Az Zuhri, dan yang dipilih oleh Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-.
Baca juga : Al Asybah wa An Nazhair, karya: Ibnu Nujaim: 247, Hasyiyah Ibnu Abidin (5/99), Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640, Ad Dakhirah karya Al Qarafi: 13/318, Manhu Al Jalil Syarah Mukhtashor Kholil: 2/416, Ihya Ulumuddin: 2/130, Al Majmu’: 9/351, Al Inshaf: 8/322, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 29/307, dan Fatawa Lajnah Daimah: 16/455.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang berlaku riba, ia telah meninggalkan harta dan anak yang dia mengetahui kondisi ayahnya. Apakah harta tersebut menjadi halal baginya dengan warisan atau tidak ?
Beliau menjawab: “Adapun masalah bahwa anaknya mengetahui kalau harta ayahnya mengandung riba, maka hendaknya ia mengeluarkannya dengan cara mengembalikannya kepada pemiliknya jika memungkinkan, namun jika tidak maka disedekahkan, dan sisanya sudah tidak haram lagi baginya, akan tetapi sejumlah harta yang masih syubhat maka disunnahkan untuk ditinggalkan, jika tidak harus digunakan untuk membayar hutang atau menafkahi keluarga.
Kalau ayahnya tersebut masih terikat dengan transaksi ribawi dimana pada ahli fikih masih memberikan rukhsoh (keringanan), maka ahli waris diperbolehkan mempergunakannya.
Jika hartanya masih bercampur antara yang halal dan yang haram, maka masing-masing diperkirakan dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. (Majmu’ Fatawa: 29/307)
Ini merupakan pendapat jumhur ulama
Ibnu Rusyd berkata: “Dan diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata tentang seseorang yang bekerja lalu ia terjerumus ke dalam sogokan, korupsi, dan pembagian seperlima (dari negara) dan bagi siapa saja yang bisnisnya banyak mengandung riba. Semua yang ia tinggalkan dari harta warisan maka akan menjadi haknya ahli waris dengan warisan yang telah Allah wajibkan kepada mereka, baik mereka mengetahui buruknya pekerjaannya atau tidak mengetahui. Sementara dosa kedzoliman dilimpahkan kepada pelaku dosa tersebut”. (Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640)
Ini merupakan pendapat yang kedua.
Yang menjadi dalilnya Jumhur adalah bahwa harta tersebut tidak halal bagi pelakunya dan tidak dapat dimiliki secara syari’at. Seharusnya melepaskan diri atau mengembalikannya dan tidak dialihkan kepada orang lain; karena peralihan kepemilikan melalui warisan atau dengan hibah adalah menjadi bagian dari kepemilikannya juga, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan.
Sedikit sekali Jumhur (mayoritas ulama) membahas dalam masalah ini, karena bertumpu pada hukum asal, yaitu; ia termasuk harta yang haram, sehingga dengan kematian tidak dapat merubah harta tersebut menjadi baik, begitu juga perpindahan dari satu tangan ke tangan lainnya.
Yang menjadi dalil pendapat kedua: 1. Interaksi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya dengan orang-orang yahudi dalam hal jual beli, persewaan dan hutang, padahal mereka terkenal dengan mengambil riba dan memakan makanan yang haram.
Hal ini dijawab bahwa hartanya orang-orang yahudi itu termasuk harta yang campur, sementara pembahasan ini berkaitan dengan harta yang haram yang tidak bercampur dengan yang lainnya.
Akan tetapi telah dinyatakan dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan madzhab ini, hal itu sangat jelas sekali, Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata: “Telah diriwayatkan dalam hal itu beberapa atsar dari generasi salaf, ada riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa ia pernah ditanya tentang seorang tetangga yang memakan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta yang buruk yang ia ambil dan mengajaknya untuk makan bersama, maka ia berkata: “Datangilah undangannya, karena hidangan itu baik bagi kalian, sementara dosanya hanya bagi dia”.
Dan di dalam riwayat lain ia berkata: “Saya tidak mengetahui sesuatu kecuali (hartanya) adalah buruk atau haram, lalu beliau berkata: “Penuhilah undangannya”.
Imam Ahmad telah menshohehkan riwayat ini dari Ibnu Ma’ud, akan tetapi ia berbeda dengan apa yang diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Dosa adalah yang menguasai hati”.
Dan telah diriwayatkan dari Sulaiman seperti ucapan Ibnu Mas’ud yang pertama, dan dari Sa’id bin Jabir, Hasan Al Basri, Muwarriq Al ‘Ijli, Ibrahim An Nakho’i, Ibnu Sirin dan yang lainnya. Ada banyak atsar yang ada di dalam kitab “Al Adab” karya Humaid bin Zanjawaih dan sebagiannya di dalam kitab “Al Jami’” karya Al Khallal, dan di dalam karya Abdurrazzaq bin Abi Syaibah dan yang lainnya”. (Jami’ Al Ulum wal Hikam: 1/209-210)
2. Keharaman harta tersebut berkaitan dengan tanggung jawab pelakunya, bukan dengan dzat harta tersebut, maka tidak menjadi haram setelah berpindah tangan.
Jawaban dari hal ini adalah, jika memang demikian maka harta itu akan menjadi hutang dan tanggungan si mayyit, maka diwajibkan kepada ahli waris untuk melunasi hutang tersebut sebelum pembagian harta warisan.
3. Sungguh perbedaan cara mengambilnya juga berpengaruh, haramnya harta tersebut berada pada pelakunya, tidak serta merta menjadi haram juga bagi orang lain, berdasarkan hadits Barirah “Harta itu menjadi sedekah baginya dan menjadi hadiah bagi kami”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Sebagian ulama berkata, harta yang haram karena pekerjaannya, karena dosanya bagi pelakunya, bukan bagi siapa saja yang mendapatkannya melalui jalan yang mubah dari pelaku tersebut, berbeda dengan harta haram karena dzatnya, seperti khamr, barang curian dan lain sebagainya.
Pendapat ini tepat dan kuat, berdasarkan dalil bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membeli makanan dari orang yahudi untuk keluarganya, beliau juga telah memakan kambing yang dihadiahi oleh wanita yahudi Khaibar, beliau juga telah memenuhi undangan orang yahudi, sebagaimana diketahui bahwa mereka sebagian besarnya telah berlaku riba dan memakan harta yang haram.
Kemungkinan yang menguatkan pendapat ini juga, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terkait masalah daging yang telah disedekahkan kepada Barirah:
هو لها صدقة ، ولنا منها هدية انتهى
“Daging itu menjadi sedekah baginya, dan menjadi hadiah bagi kami”. (Al Qaul Al Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 3/112)
Beliau –rahimahullah- juga berkata: “Coba anda lihat Barirah pembantu ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma- misalnya, dia diberi sedekah daging, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika memasuki rumah beliau, seraya mendapatkan bejana di atas api, lalu beliau mengajak makan namun daging tersebut tidak dihidangkan, dihidangkan makanan lain dan tidak ada daging, lalu beliau bersabda: “Sepertinya saya melihat bejana di atas api ?” mereka berkata: “Iya betul wahai Rasulullah, akan tetapi yang di dalamnya itu daging sedekah yang diberikan kepada Barirah”.
Dan Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memakan sedekah, seraya beliau bersabda:
هو لها صدقة ، ولنا هدية
“Daging itu baginya sedekah, dan bagi kami adalah hadiah”.
Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memakannya, padahal diharamkan bagi beliau untuk memakan sedekah; karena beliau tidak menerimanya sebagai harta sedekah, akan tetapi beliau terima sebagai harta hadiah.
Kepada mereka pada ikhwah kami katakan: Makanlah dari harta ayah kalian dengan senang hati, meskipun menjadi dosa dan bencana bagi ayah kalian, kecuali Allah -‘Azza wa Jalla- memberikan hidayah kepadanya dan bertaubat kepada-Nya, barang siapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. (Al Liqo Asy Syahri: 45/26)
Alasan ini bisa dijawab dengan membedakan antara dua hal: bahwa Barirah telah mengambil harta tersebut dengan cara yang mubah lalu menjadi miliknya, lalu ia berhak untuk memberikannya sebagai hadiah kepada orang lain.
Sementara orang yang melakukan riba, ia tidak memiliki harta tersebut dengan jalan yang disyari’atkan, hingga bisa ia pindahkan kepada orang lain.
Iya, hal ini benar jika orang yang berlaku riba tersebut sudah bertaubat, pendapat kami adalah ia boleh memiliki harta itu jika belum tahu akan keharamannya, atau ia sudah tahu –sebagaimana kecenderungan pendapatnya Syeikh Islam- maka pada saat itulah, jika ia hadiahkan kepada orang lain maka dibolehkan, dan inilah analogi dengan hadits Barirah.
Adapun jika ia belum bertaubat, maka ia tidak bisa memiliki harta tersebut, juga tidak bisa pindah kepada orang lain, tidak dengan cara hibah atau dengan diwariskan; karena secara syar’i ia bukan pemiliknya.
Dalam hal ini, anda ketahui bahwa madzhab jumhur adalah madzhab yang kuat, ia sesuai dengan hukum asalnya, bahwa pelaku (riba) itu bukan pemilik harta tersebut sampai ia pindahkan kepada orang lain.
Ibnu Rajab telah menyebutkan pada tempat yang diisyaratkan tadi menurut sebagian atsar terdahulu dalam hal larangan tersebut, sesuai dengan pendapat jumhur, ia juga berkata: “Dan yang bertentangan dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Salman adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar As Shiddiq bahwa beliau pernah memakan makanan lalu beliau menjelaskan bahwa itu berasal dari harta haram, lalu beliau memuntahkannya”. (Jami’ Ulum wa Al Hikam: 1/211)
Oleh karenanya Lajnah Daimah telah berfatwa bahwa bunga riba itu tidak bisa diwariskan, anaknya juga tidak boleh memakannya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 16/455 dan 22/344.
Baca juga untuk tambahan penjelasan: Ahkam Al Maal Al Haram wa Dhawabithu Al Intifa’ wa Tasharruf bihi fi Al Fiqhi Al Islami, DR. Abbas Ahmad Al Baaz, hal: 73-92, buku ini termasuk risalah ilmiyah, beliau menyimpulkan bahwa madzhab jumhur yang rajih.
Baca juga: Jami’ Al Ulum wa Al Hikam karya Ibnu Rajab Al Hambali: 1/208-211.
Baca juga jawaban soal nomor: 70491 untuk mengetahui sikap seorang muslim pada saat berhadapan dengan masalah-masalah ijtihadiyah.
DAHSYATNYA BAHAYA MEMAKAN HARTA HARAM
Oleh Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib
Cinta dan tamak harta merupakan sifat, tabiat dan watak manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [al-Fajr/89:20]
Usaha yang baik dan halal merupakan hal yang terpuji dalam agama Islam, karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar berkerja dan berusaha keras, sebagaimana firman-Nya :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin al-’Âs,‘Wahai Amr, Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih’(diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا أكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِه ، وَإنَّ نَبيَّ الله دَاوُدَ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud Alaihissallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri’. [HR. al-Bukhâri]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لأَنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ أحبُلَهُ ثُمَّ يَأتِيَ الجَبَلَ ، فَيَأْتِيَ بحُزمَةٍ مِنْ حَطَب عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا ، فَيكُفّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ ، أعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ
Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allâh mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak’[HR. al-Bukhâri]
Allâh Azza wa Jalla menjadikan rasa suka dan cinta terhadap harta sebagai cobaan dan ujian. Karena, Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang Mahaagung yang telah menetapkan ketuhanan dan keesaan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân kemudian juga mengingatkan bahwa Dialah satu-satunya yang mengatur hukum halal dan haram, satu-satunya Pencipta dan Pemberi rezeki, yang berhak mengatur kehidupan dunia ini. Jadi hak untuk menetapan hukum halal dan haram hanyalah milik-Nya semata.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. [al-Baqarah/2:168]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya.[al-Mâidah/5:88]
Halalan thayyiban dalam ayat di atas sesuatu yang dihalakan bagi kalian dan bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, seperti merampas, merampok, mencuri, riba, risywah atau sogokan, korupsi, penipuan dan berbagai macam mu’âmalah haram lain.
Thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis, seperti bangkai, daging babi atau anjing, minuman keras dan yang sejenisnya.
Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka penuh berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah.
Mencari harta halal dengan cara yang halal adalah sifat mulia yang telah dicerminkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka, para assalafus shâlih juga selalu saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman dan mata pencaharian.
Dari Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga’. [HR. Tirmidzi]
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى طُعْمة
Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga urusan makanan’.
Sikap Orang-Orang Shalih Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam masalah ini. Diantaranya :
1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Dari mana engkau dapat makanan ini?’ Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.
2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau Radhiyallahu anhu begitu senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab, ‘Aku berjalan melewati seekor unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu aku mengambil air susunya.’ Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar Radhiyallahu anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.
3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya, “Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat mencari rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu menahan panas api neraka.”
Begitulah sikap wara’ orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama mereka, merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas).
Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram’. [HR. al-Bukhâri]
Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan rezeki serta melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk memburu angan-angan gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan usahanya.
Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkata, “Kemarilah kalian semua!’ Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan duduk menghadapnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya terlambat datang kepadanya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik! Janganlah kedatangan rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” [HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih]
Kalimat أجملوا في الطلب (lakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam hadits di atas maksudnya adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh pendapatan dunia.
Pengaruh Makanan Haram Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih akan tetapi ia memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah mengkonsumsi harta yang haram, padahal akibatnya sangat fatal. Orang seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal ibadahnya tertolak, doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla) dan harta serta usahanya tidak akan diberkahi.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan [al-Mukminûn/23:51]
Allâh juga berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian”[al-Baqarah/2:172].
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? [HR. Muslim]
Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ
Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) [HR. Muslim]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’. [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram. [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. [HR. Tirmidzi]
Kata السحت dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai bisnis yang diharamkan syari’at.
Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang, dari mana ia memperolehnya dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang kemudian diiringi balasan dah hukuman yang adil.
Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’ (menahan dari yang haram), ‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi orang senantiasa melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan karakternya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Katakanlah! “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” [an-Nisâ’/4:7]
Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan dengan cara yang haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]
Ghulul, Dosa Besar yang Diremehkan Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl. al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [ali Imrân/3:161]
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda :‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allâh Azza wa Jalla , tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’[HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl (korupsi) dibiarkan, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.
Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zhalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.
Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’.
Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.”
Penutup Maka tiada jalan untuk selamat dari siksa Allâh Azza wa Jalla , kecuali dengan murâqabatullâh (merasa selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla) disaat sepi atau ramai, selalu takut kepada Allâh sebelum takut kepada manusia. Dan tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dan memajukannya serta melepaskannya dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan kecuali dengan menegakkan keadilan, menghilangkan kezhaliman, mempekerjakan orang yang amanat.
(Diangkat dari khutbah jum’ah di Masjidil Haram di Mekah yang disampaikan oleh Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib pada tanggal 16/3/1435 dengan judul Khuthûratu Aklil Mâlil Harâm )
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 12/Tahun XVII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57773 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Kumpulan tanya jawab agama Islam (2) yang diajukan oleh pembaca alkhoirot.net.
Assalamualaikum Ustadz.,
ana mau bertanya Ustadz,tentang hukum halal haram.
Ana bergaul/ataupun menyewa tempat tinggal beramai-ramai alasan biar harga sewa murah.
tentu setiap kebiasaan pribadi berbeda-beda. Contoh teman Ana selalu suka membeli TOGEL/judi nombor slalunya tepat.
1. Ana tanyakan, Apakah hukum menerima makanan yg dibeli dng uang judi tersebut?
2. seandainya di tolak selalu mengatakan bahwa kita orang suci tak mau makan makanan hasil togel.
Salah satu cara untuk menjadi pribadi muslim yang lebih baik adalah memilih pergaulan yang kondusif yang dapat membawa kita pada standar etika dan moral yang lebih tinggi. Kecuali apabila kita memiliki pribadi dan komitmen keagamaan yang sangat kuat yang berniat untuk mempengaruhi lingkungan dan tidak kuatir dipengaruhi. Anda tampaknya termasuk golongan yang pertama yang sebaiknya mencari lingkungan pergaulan yang kondusif.
1. Hukum memakan makanan yang jelas berasal dari uang judi adalah haram. Dalam QS Al-Mukminun 23:51 Allah berfirman: يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحاً
Artinya: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam menjelaskan ayat di atas, dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda: إن الله طيب لا يقبل إلا طيباً، وإن الله تعالى أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين
Artinya: Allah itu baik dan tidak meneirma kecuali kebaikan. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sama dengan apa yang diperintahkan pada para Rasul.
Dalam QS Al Baqarah 2:172 Allah berfirman: يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang memakan makanan haram maka doa dan ibadahnya tidak akan diterima.
Al Khirsi dalam Hasyiyah Al-Udwa menyatakan: ومن كان كل ماله من الحرام، فيحرم أخذ شيء منه، وكذا إذا عُلم أن طعامه اشتراه بعين الحرام
Artinya: Barangsiapa yang seluruh hartanya berasal dari harta haram maka haram pula mengambil sesuatu darinya. Begitu juga apabila diketahui bahwa makanan yang dibeli berasal dari uang haram.
Akan tetapi apabila uang atau harta yang dipakai untuk membeli makanan itu berasal dari uang campuran antara halal dan haram, maka hukumnya makruh memakan makanannya. Lebih detail lihat:
Pelaku dosa harus bertaubat dengan taubat nasuha. Baca detail:
2. Komitmen pada agama harus mengalahkan komitmen kepada teman. Bahkan pada orang tua sekalipun apabila mereka menyuruh berbuat yang buruk, maka perintah orang tua harus dilanggar.
____________________________________________________________
Ass. Ustadz saya mau tanya ,
apakah sah atau tidak apabila bernazar atau bersumpah di dalam hati tanpa diteguhkan atau diniatkan oleh hati sendiri dengan sebenar-benarnya , terimakasih
Nazar baru terjadi apabila diucapkan secara lisan. Apabila masih dalam hati maka nadzarnya tidak terjadi. Artinya, Anda tidak perlu memenuhi atau melaksanakan nadzar yang belum diucapkan dalam bentuk kata-kata. Lebih detail:
______________________________________________________________
Assalamualaikum wr.wb
Pak ustadz,,apakah dengan meminta maaf secara tulus dan ikhlas kepada orang yang bersangkutan, dosa kita kepada orang tersebut akan diampuni oleh Allah SWT,walaupun kita tidak mengungkapkan kesalahan kita satu persatu pada orang tersebut.
Wassalamualaikum wr.wb.
Haqqul adami (hak sesama manusia) ada dua kategori. Pertama, Hak yang terkait dengan harta benda yang dapat dilunasi atau dibayar seperti hutang, atau mencuri. Dalam kasus ini, maka hak-hak tersebut harus ditunaikan atau dipenuhi pada yang berhak.
Kedua, hak yang terkait dengan sesuatu yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti pernah ghibah (Jawa, ngerasani), pernah memfitnah, membohongi, pernah berkata buruk tentang dia, dll. Dalam kasus ini maka meminta maaf secara umum dengan tulus sudah cukup dan tidak perlu mengatakan kesalahan yang dilakukan secara detail. Ini adalah pendapat segolongan ulama yang mengatakan : وإن كان مما لا يستوفى كالغيبة والنميمة والكذب ونحو ذلك، فيكتفي بالدعاء له والاستغفار وذكره بخير
Artinya: Dosa/kesalahan yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti ghibah, memfitnah, berbohong terhadap seseorang, maka cukup dengan mendoakan, meminta maaf dan menyebut kebaikannya.
Namun pendapat jumhur ulama madzhab tetap mewajibkan menyebut kesalahan yang dilakukan selain meminta maaf sebagai syarat meminta maaf atas kesalahan pada manusia yang lain (hak adami) baik dapat dilunasi atau nonmateri. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanafi). Dasar hukum yang diambil adalah hadtis sahih riwayat Bukhari
من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه
Artinya: Barangsiapa mempunyai kesalahan pada saudaranya (sesama manusia) yang menyinggung harga diri atau harta maka hendaknya meminta maaaf (meminta dibebaskan). Apabila dia memiliki amal salih, maka amalnya akan diambil menurut kadar kesalahannya. Apabila dia tidak punya kebaikan, maka diambillah keburukan saudaranya itu menjadi tanggungannya.
Menurut hemat kami, meminta maaf secara umum adalah yang terbaik karena kalau disebutkan secara detail kesalahan yang dilakukan berpotensi akan semakin memperburuk suasana. Namun apabila dengan menyebutkan kesalahan itu secara detail tidak pihak yang dimintai maaf, maka itu akan lebih ideal.
_______________________________________________________________
Saya ZA saya mau tanya,seorang suami yg selalu merantau meninggalkan istri dan anak untuk mencari nafkah di luar negeri 1 thn sekali balik. Karena di jaman sekarang yg serba canggih ini org dapat berhubungan dg org lain melalui internet, jadi akhirnya sang suami banyak mempunyai kawan2 trutama perempuan, oleh karena sang istri mengetahui semua kejadian sang suami alami, akhirnya istri marah dan selalu mencaci maki padahal suami sudah minta maaf dan tidak lagi berbuat seperti dulu. tapi istri tetap saja tdk mau menerima kenyataan.
Yang saya tanyakan apakah seorang istri bisa masuk sorga tanpa ridonya sang suami.
Suami adalah pemimpin rumah tangga yang harus ditaati oleh istri selagi kepemimpinannya tidak bertentangan dengan syariah. Namun seuami juga perlu menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang memang layak dihormati.
Sikap istri Anda yang tidak mau memaafkan Anda itu dalam satu sisi justru positif karena itu artinya dia sangat mencintai Anda. Dan karena itu Anda sebaiknya menghadap seorang yang dapat dimintai nasehat dan meminta saran kepadanya agar istri Anda dapat memaafkan dan rumah tangga Anda dapat kembali normal.
Soal istri yang tidak bisa masuk surga, lihat artikel:
___________________________________________________________________
Assalamu'alaikum wr wb
Pada waktu SMA dan aktif di Sie Kerohanian Islam saya dikenalkan dengan
& Rotib al haddad dibaca setiap jum'at ba'da maghrib...sehingga sy merasa menyatu dgn rotib al haddad tsb. hingga sy di tunjuk teman2 untuk memimpin pembacaan rotib.
terlepas dari itu semua background ke islaman saya adalah Muhammadiyah ...
__________________________________________________________
salam. saya mau tanya ! sya menderita penyakit was was akhir2 ini entah kenapa, rasa-rasanya merasa bersalah terus dengan Allah dan Raasulnya...padalah gara2nya cuman kebaca kalimat2 yg menghina Allah dan nabi,,pdhl hati mnyangkal mngatakan itu,namun trus aja menghantui saya dg kata2 yg kurang sopan,,
sya sdh brusaha menambah aktifitas keagamaan, namun masih ada terlintas bisikan itu hingga akhirnya tiap hari saya mnyesal, apakah saya termaasuk orang yg beerdosa bsar kpd Allah ,pdhl sya sangt ingin mhilangkannya wassalm
mohon di jawab ustadz
Kalau memang kata-kata penghinaan yang keluar itu tidak disengaja dan di luar kendali Anda, maka tidak apa-apa. Nabi bersabda dalam sebuah hadits: رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يعقل
Artinya: Ada 3 keadaan yang apabila melakukan kesalahan tidak dicatat: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai akil baligh, orang gila sampai sembuh.
Namun, begitu ingat Anda hendaknya segera mengucap istighfar kepada Allah.
Akan tetapi karena yang terjadi pada Anda itu semacam penyakit, maka idealnya Anda berkonsultasi ke psikiater atau psikolog untuk mendapat terapi. Di sampng rajin ibadah shalat yang 5 waktu plus
untuk meminta kesembuhan.
_________________________________________
assalamualaikum wr.wb
ustadz aaya pemuda berumur 19 tahun yang sering melakukan maksiat yaitu berupa menjalin hubungan dengan lawan jenis yang disebut pacaran. tp saya suatu ketika pernah mengingkari keharaman dari pacaran tersebut. dan saya tau apabila mengingkari hukum dapat menyebabkan murtad.
peryltanyaan saya. -> Topik ini sudah
______________________________________________________
Diantara perkara yang dapat melanggengkan hafalan yaitu meninggalkan kemaksiyatan, Yang saya tanyakan, bagaimana halnya dengan orang non muslim, apakah mereka juga lupa dengan ilmunya? Atau bagaimana? Mohon maaf bila ada kesalahan
Apa yang Anda katakan bahwa berbuat maksiat dapat menghilangkan atau mengurangi hafalan itu betul. Seperti kata sebuah syair yang konon dibuat oleh Imam Syafi'i [1] dalam syairnya
شكوت إلى وكيع سوء حفظي فأرشدني إلى ترك المعاصي أخبرني بأن العلم نور ونور الله لا يُهدى لعاصي
Artinya: Aku melapor pada Waki' tentang buruknya hafalanku / Dia memberi petunjuk agar menjauhi maksiat.
Dia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya / Dan cahaya Allah tidak diberikan pada pelaku maksiat.
Hafalan itu berbeda dengan pemahaman. Hafalan membutuhkan konsentrasi dan fokus yang sangat tinggi sedang perbuatan maksiat akan dapat mengurangi fokus seseorang karena adanya perasaan dosa dan problema yang lain.
Namun demikian, kita semua tahu bahwa manusia memiliki daya ingat dan daya hafal yang berbeda sejak dia lahir baik dia kafir atau muslim. Orang kafir yang memang ditakdirkan memiliki daya hafal kuat tentu sedikit banyak akan terpengaruh dengan perilaku dosa yang dilakukan, tetapi kekuatan daya hafalnya yang tinggi akan membuatnya tetap mampu untuk melakukan hafalan dengan baik. Begitu juga, seorang muslim yang memiliki daya hafal lemah tetap akan sulit menghafal walaupun dia berusaha tidak melakukan maksiat karena memang IQ yang dimilikinya rendah.
Contoh, si A yang nonmuslim memiliki IQ 130, kalau dia melakukan dosa mungkin akan mengurangi daya hafalnya menjadi, katakalah, 129. Itu masih terhitung tinggi. Sementara si B yang muslim punya IQ di bawah 100. Bagaimanapun taatnya pada ajaran Islam, tetap saja dia tidak akan dapat mengejar daya hafal dan daya ingat yang dimiliki oleh si A yang nonmuslim.
__________________________________________________
Agar Ibadah dan Doa Diterima Allah SWT
1. bagaiamana cara agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT?
2. dan bagaimana agar doa kita dikabulkan oleh Allah SWT? ..
Didik (pertanyaan via Facebook.com/alkhoirot)
1. Khusyu' dalam melaksanakan ibadah. Dan ikhlas dalam mengamalkannya.
2. Ada dua unsur penting agar do'a dikabulkan Allah.
Pertama, berdo'a dengan sungguh-sungguh dan resapi makna yang diucapkan.
Kedua, wujudkan apa yang terucap dalam do'a dalam bentuk usaha yang serius dan kerja keras.
[1] Sebagian pendapat menyatakan bahwa syair tersebut dibuat oleh Ali bin Khashram. Bukan Imam Syafi'i. Karena Waki' bukan guru dari Imam Syafi'i.
_____________________________________________________
Kehalalan makanan yang masuk ke perut sangat berpengaruh pada banyak hal. Salah satunya adalah masalah status dan nilai keimanan kepada Allah SWT. Makanan halal juga akan berpengaruh terhadap keberkahan hidup. Kalau tidak sengaja konsumsi makanan haram bagaimana?
Makanan haram adalah makanan yang dilarang oleh syariat Islam untuk dikonsumsi oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Mengutip dari buku Sembuh Total dengan Wirid Husna karya Rizem Aizid, apabila seorang hamba tetap memaksakan diri memakan barang haram tersebut, maka ia tidak akan mendapat rida Allah SWT. Sebaliknya, ia akan mendapat azab dan dosa dari-Nya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampak dari memaksakan diri memakan makanan yang haram pun ada berbagai macam. Apa saja?
Dijelaskan dalam buku 20 Hari Hafal 1 Juz karya Ummu Habibah, dampak memakan makanan haram untuk tubuh ada lima hal, di antaranya:
Doa-Doanya Tidak Dikabulkan
Rasulullah SAW bersabda, "Seorang laki-laki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan 'Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!' padahal, makanannya haram dan mulutnya disuapi dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterimanya doa itu?" (HR Muslim)
Dampak ketiga memakan barang haram adalah dapat membuat iman seseorang menipis atau bahkan hilang. Apabila iman tersebut sudah terkikis, maka ia tidak akan digolongkan lagi bersama orang-orang mukmin.
Rasulullah SAW bersabda,
"Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari dan Muslim)